Hidup mengajariku dua langkah dalam menyasati manusia. Satu langkah
kuikuti dalam hal apa yang bisa kudapatkan dari orang lain, dan satunya lagi
kuikuti dalam hal apa yang bisa didapatkan perasaanku pada suatu yang tidak
bermanfaat, dan aku pun memulai tahu bagaimana berhemat menafkahkan kekayaan hidup.
Adapun langkahku dalam hal yang bisa kudapatkan dari orang
lain adalah menerima watak dan perilaku mereka sebagai suatu kesatuan. Aku tidak
membeda-bedakan mereka berdasarkan perbedaan individual. Semula ciptaan yang
satu bagiku menyayatkan rasa sakit dan putus pengharapan puluhan bahkan ratusan
kali. Dan setiap kali aku meresa benturan yang datang tiba-tiba, sepertinya kau
menyibak suatu yang baru dan belum pernah terbayangkan sebelumnya.
Kemudian bersama waktu aku membiasakan diri menjadi bagi
semua orang yang satu perhitungan dalam perimbangan kasat dan kerugian. Kerugian
pun setidaknya banyak menurun. Inilah sebenarnya pencariannya yang dijanjikan. Aku
mencoba mengumpulkan perilaku pada jenis-jenisnya dan masing-masing ku beri judul;
pada manusia ada kebodohan, pada manusia ada kekurangan, pada manusia pertentangan
dan hal-hal aneh, dan sebagainya seperti yang kita warisi secara turun temurun. Di
situ tidak ada yang baru, dan pastinya adanya pada manusia.
Jika aku mendapatkan suatu yang mengeruhkan dari orang lain,
aku kembali membawanya kepada judulnya. Ternyata kutemukan ia terdaftar disitu.
Yang tidak pernah kutunggu tidak membuatku kaget. Pada manusia ada pengaruh
pada manusia ada kekurangan. Memang. Betul. Lalu, ada apa sebelumnya?! Ya, aku
sudah mengetahuinya berkali-kali. Lantas mengapa harus merasa aneh? Mengapa harus
mengeluh dan mengaduh?
Lama kuamati diriku. Kuletakkan diriku dalam daftar. Aku pun tahu,
ternyata dalam diriku ada juga watak dan prilaku seperti yang dimiliki orang
lain. Maka, setiap kali mendapatkan perilaku semacam itu dari orang lain selalu
kukatakan,”Engkau juga begitu”. Dengan demikian, tidak perlu diperhitungkan dan
tidak pula harus mencaci orang lain.
Nah, adapun langkahku dalam hal yang bisa didapat orang laindariku
adalah menanyakan diriku sendiri setiap kali merasa benci dan mengeritik
mereka, “apakah hal ini berarti bagiku?”. Dalam arti kata, “apakah kehilangan
ridha mereka membuatku untung? Dan apakah kehilangan itu membuatku rugi?”. Jika
mengandung untung dan rugi, berartihal itu bermanfaat bagiku. Aku harus
mengatasinya sebisa mungkin tetapi jika tidak, aku tidak perlu mencapai dan
berkurban.
Aku selalu menghandalkan standar praktis, karena lari
mengejar teori tiada akan berkesudahan. Maka, didepanku selalu kuletakkan lima
atau enam sosok orang yang kukenal. Kutahu mereka tergolong ashhabul khuthwah
(teladan) bagi orang lain. Pun bahwa orang-orang tidak menbenci dan mengeritik
mereka. Dan aku bertanya,? “apakah engkau suka menjadi seperti mereka? Suka mendapatkan
keridhaan sebagaimana yang mereka raih?”.
Jawaban atas pertanyaan ini selalu member manfaat bagiku. Sebab,
demikian itu menentukan tindakan yang harus kuambil. Atau, membebaskanku dari
setiap pekerjaan. Pertanyaan itu pulalah yang menjelaskan kepadaku dalam banyak
kesempatan bahwa keridhaan dan pujiaan adalah mata uang palsu, atau mata uang
yang sebenar-benarnya.
Selamat membaca semoga bermanfaat
Dapat banyak pelajaran di sini sahabat
ReplyDelete@Blog Keperawatan : makasih gan.
ReplyDeleteWah artikel bagus sob, updatenya ditunggu lgi sob...
ReplyDeletePengalaman memang guru yang terbaik ya gan,
ReplyDelete:)
@Media-Mimpi :makasih gan.
ReplyDelete@Majalah Siantar : ya benar tu gan.
pengalaman adalah guru terbaik, begitupun hidup mengajari kita untuk menjadi yang terbaik
ReplyDelete@Asis Sugianto : benar gan.
ReplyDeletemakasih udah mau berkunjung.
kehidupan guru terbaik....
ReplyDeletemari kita belajar dan memanfaatkan hidup ini sebaik-baihnya!!!
ReplyDeletejangan kita sia-sia anugrah hidup ini dan sepatutnya kita mensyukurinya!!
ReplyDelete@ majalah siantar : betul banget
ReplyDelete